Daftar Isi [Tampil]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melakukan berbagai bisnis maka akan menimbulkan berbagai macam perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha tersebut dimana perjanjian-perjanjian tersebut harus sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Salah satunya yaitu perjanjian bernama yang telah dijelaskan dalam Pasal 1319 KUH Perdata bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum.
Perjanjian pertanggungan mengandung unsur untung rugi yang digantungkan pada keadaan yang tidak tentu. Dewasa ini juga semakin banyak pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan individu dengan kata lain membutuhkan bantuan orang lain. Dalam hal ini seseorang yang telah diberikan kekuasaan atau wewenang untuk melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain dapat dikatakan bahwa ia mewakili si pemberi kuasa. Artinya bahwa apa yang dilakukan si penerima kuasa adalah tanggungan dari si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Dalam suatu perjanjian kadang terjadi perselisihan yang terjadi diantara keduanya karena adanya salah satu pihak yang dirugikan. Maka dari itu perselisihan yang terjadi diperlukan perdamaian untuk mengakhiri perselisihan tersebut.
Pada makalah ini akan dijelaskan empat perjanjian yang termasuk perjanjian bernama yaitu perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, perjanjian penanggungan, dan perjanjian perdamain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep perjanjian untung-untungan?
2. Bagaimana konsep pemberian kuasa?
3. Bagaimana konsep perjanjian penanggungan utang?
4. Bagaimana konsep perjanjian perdamaian?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjanjian Untung-Untungan
Sesuai yang diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam Pasal 1774 bahwa perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung-ruginya baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. [1]
Perjanjian untung-untungan dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
1. Perjanjian pertanggungan (asuransi)
Menurut undang-undang, asuransi adalah suatu perjanjian dimana seorang penanggung dengan menerima suatu premie, menyanggupi kepada orang yang ditanggung untuk memberikan penggantian suatu kerugian atau kehilangan keuntungan, yang mungkin akan diderita oleh orang yang ditanggung itu sebagai akibat suatu kejadian yang tidak tentu.[2]
2. Bunga cagak hidup
Bunga cagak hidup adalah bunga yang dibayarkan setiap tahun (bulan) oleh seseorang kepada orang yang ditunjuk selama ia masih hidup untuk keperluan sehari-hari.[3]Seorang yang mengadakan suatu perjanjian cagak hidup dapat dipersamakan dengan seorang yang mengadakan sebuah “dana pensiun” bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain yang diberikan kenikmatan atas bunga tersebut. Jika ia berusia panjang maka beruntunglah diaatas kerugian pihak lawannya, sebaliknya jika ia tidak berumur panjang maka beruntunglah pihak lawannya. Disitulah letaknya unsur untung-untungan dalam perjanjian cagak hidup.
Cara terjadinya bunga cagak hidup telah diatur dalam Pasal 1775 KUH Perdata menjadi tiga cara yaitu perjanjian, hibah, dan wasiat. Sedangkan orang yang berhak menerima bunga cagak hidup telah diatur dalam Pasal 1776 s.d 1778 KUH Perdata yaitu atas diri orang yang memberikan pinjaman; atas diri orang yang diberi manfaat dari bunga tersebut; atas diri seorang pihak ketiga, walaupun orang ini tidak mendapat manfaat daripadanya; atas diri satu orang atau lebih; dan dapat diadakan untuk seorang pihak ketiga, meskipun uangnya diberikan oleh orang lain.[4]
3. Perjudian dan pertaruhan
Perjudian dan pertaruhan telah diatur dalam Pasal 1788 sampai dengan 1791 KUH Perdata. Perjudian merupakan perbuatan untuk mempertaruhkan sejumlah harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan dengan tujuan untuk mendapatkan harta yang lebih besar daripada harta semula. Sedangkan pertaruhan adalah harta benda yang dipasang ketika berjudi. Perjudian dan pertaruhan termasuk perikatan wajar. Artinya para pihak yang mengadakan perjanjian ini tidak mempunyai hak menuntut ke pengadilan, apabila salah satu pihak wanprestasi karena dalam undang-undang No 7 tahun 1974 tentang perjudian disebutkan bahwa perjudian pada hakikatnya bertentangan agama, kesusilaan, dan moral Pancasila serta membahayakan bagi kehidupan bangsa dan Negara. Di samping itu sifat tidak ada gugatan hukum dapat disimpulkan dari Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata bahwa terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi tidak dapat dituntut kembali.[5]
B. Pemberian Kuasa
Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. (Pasal 1792 KUH Perdata) [6]
Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Akta umum, artinya pemberian kuasa dilakukan di hadapan dan di muka Notaris.
b. Surat di bawah tangan, artinya surat kuasa hanya dapat dibuatkan para pihak.
c. Lisan, artinya surat kuasa yang dilakukan secara lisan.
d. Diam-diam, artinya surat kuasa yang dilakukan secara diam-diam.
e. Cuma-Cuma, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi kuasa.
f. Kata khusus, artinya pemberian kuasa hanya mengenai kepentingan tertentu saja.
g. Umum, artinya isi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.
Hubungan hukum antara pemberi kuasa dan penerima kuasa akan menimbulkan akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban penerima kuasa yaitu melaksanakan kuasanya dan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukan serta memberi laporan kepada pemberi kuasa. Sedangkan kewajiban pemberi kuasa yaitu memenuhi perjanjian yang telah dibuat baik membayar upah maupun memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa. Disamping kewajiban, ada juga hak penerima kuasa yaitu menerima jasa dari pemberi kuasa dan sebaliknya hak pemberi kuasa yaitu menerima hasil dari penerima kuasa.
Dalam pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa dapat berakhir dengan cara ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. [7]
C. Perjanjian Penanggungan Utang
Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana, pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya.(Ps. 1820 KUHPerdata) [8]
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur.
Seorang penanggung akan kehilangan haknya untuk menagih kembali dari si berhutang apa yang telah dibayarkan kepada si berpiutang apabila ia membayar hutang dengan tidak memberitahukan si berhutang. Disamping itu hak dari si penanggung ada dua yaitu :[9]
1. Ia berhak, jika ditagih meminta supaya si berpiutang menuntut terlebih dahulu kepada si berhutang, jika perlu dengan menyita kekayaan si berhutang.
2. Jika ada beberapa orang yang menanggung satu hutang, maka ia berhak meminta agar pembayaran dipikul bersama-sama.
Di dalam pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang yaitu pembayaran, penawaran pembayaran tunai, dibukti dengan penyimpanan atau penitipan , pembaharuan utang, kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, pembatalan, dan berlakunya syarat peradilan.
D. Perjanjian Perdamaian
Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. (Pasal 1851 KUH Perdata)[10]
Adapun orang yang tidak berwenang mengadakan perdamaian yaitu :
a. Para wali dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan dari Bab XV dan Bab XVII dalam buku Kesatu KUH Perdata,
b. Kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga umum.
Objek perjanjian perdamaian ditur dalam Pasal 1853 KUH Perdata yaitu :
a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran.
b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.
Perdamaian yang tidak dibolehkan yaitu perdamaian mengenai kekeliruan baik dengan cara penipuan atau paksaan. Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjanjian untung-untungan yaitu perbuatan yang hasilnya mengenai untung-ruginya bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Misalnya perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup, dan perjudian.
Perjanjian pemberian kuasa yaitu perjanjian yang memberikan kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu perbuatan atas nama orang yang memberi kuasa tersebut. Macam-macam dari perjanjian tersebut meliputi akta umum, surat di bawah tangan, lisan, diam-diam, cuma-cuma, kata khusus, dan umum. Sedangkan berakhirnya pemberian kuasa diatur dalam pasal 1813 KUHPerdata.
Perjanjian penanggungan yaitu persetujuan dimana pihak ketiga mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya. Perjanjian ini bersifat accesoir (tambahan) dan cara berakhirnya diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata.
Perjanjian perdamaian yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya perkara. Perjanjian ini harus dibuat secara tertulis. Adapun orang yang tidak boleh melakukan perjanjian ini yaitu wali dan pengampu, dan kepala-kepala daerah dan kepala lembaga-lembaga umum.
[1] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), cet. 34, hlm. 455
[3]Salim, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 82
[5]Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 257
0 Komentar